
Pada zaman dahulu, di daerah Sasak, hidup dua orang raja yang bersaudara. Yang satu raja di daerah Daha dan satunya lagi di daerah Keling. Kedua raja ini belum memiliki anak, walau telah diobati oleh banyak tabib dan dukun. Mereka kemudian bersepakat untuk pergi bernazar ke pemujaan bernama Batu Kemeras yang terletak di puncak sebuah bukit. Di tempat tersebut Raja Keling bernazar, jika dikaruniai anak ia akan datang lagi dengan membawa sirih pinang. Sedangkan Raja Daha bernazar akan memotong kerbau berselimut sutera, bertanduk emas, dan berkuku perak.
Tidak lama kemudian, terkabullah hajat kedua raja itu. Raja Daha dikaruniai anak perempuan yang sangat cantik parasnya, sedangkan Raja Keling dikaruniai anak laki-laki yang sangat tampan. Setelah permintaan terkabul mereka bersepakat pergi ke Batu Kemeras untuk membayar nazar. Karena terlalu senang, Raja Keling yang waktu itu hanya bernazar membawa sirih pinang, ternyata juga membawa seekor kerbau yang tertanduk emas, berkuku perak dan berselimut kain sutera. Sebaliknya, Raja Daha yang bernazar akan membawa kerbau seperti Raja Keling, justru tidak dapat memenuhi janjinya. Ia datang hanya membawa seekor anak kerbau biasa yang tidak bertanduk emas, berkuku perak, dan berselimut kain sutera. Selesai upacara membayar nazar, kedua raja itu kembali ke negerinya masing-masing.
Dalam perjalanan, mungkin karena nazarnya tidak sesuai, rombongan Raja Daha dihadang oleh angin puting beliung hingga membuat bayi perempuan Raja Daha ikut terbawa ke langit. Melihat kejadian itu Raja Daha pun menangis. Sang bayi yang diterbangkan angin puting beliung itu melewati padang dan bukit, akhirnya mendarat di sebuah taman yang sangat indah. Sore harinya, saat sang tukang kebun bernama Pak Bangkol berkeliling menyirami taman, ia melihat ada bayi sedang menangis di atas pohon yang ada di dalam kebun. Terkejut dan gembira, Pak Bangkol yang belum mempunyai keturunan pun membawa bayi itu pulang ke rumahnya.
Sesampai di rumah, sang bayi juga disambut gembira oleh isterinya. Ia sangat senang menerima bayi itu, lantaran sudah lama menikah belum juga dikaruniai anak. Bayi itu kemudian dirawat oleh Pak Bangkol dan Bu Bangkol dan diberi nama Cilinaya. Waktu berlalu. Cilinaya telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik jelita dan cerdas. Ia pandai menyulam, menenun, merangkai bunga, dan memasak, seperti perempuan pada umumnya.
Suatu hari, terdengar kabar bahwa Pangeran putera Raja Keling, Raden Panji akan berburu di hutan dekat tempat tinggal Cilinaya. Sebelum berburu, rombongan Sang Pangeran akan mengunjungi taman indah yang dijaga oleh Pak Bangkol.
Rombongan Sang Pangeran pun tiba di taman dan disambut oleh Pak Bangkol dengan penuh hormat, walau hatinya berdebar-debar. Bukannya khawatir jika tamannya dinilai tidak indah, melainkan karena khawatir jika Cilinaya dipikat oleh Sang Pangeran untuk dibawa ke istana. Untuk menceganya, sebelumnya ia telah menyembunyikan Cilinaya di dalam sebuah buluh terudak benang.
Setelah masuk ke dalam rumah, Sang Pangeran berkata bahwa dia datang untuk memastikan apakah mimpi saya beberapa waktu yang lalu benar adanya atau tidak. Dalam mimpi tersebut dia melihat bahwa Bapak dan Ibu mempunyai seorang anak gadis yang cantiknya melebihi bidadari di kayangan.
Dengan wajah pucat, Bu Bangkol menjawab bahwa mereka tidak memiliki keturunan. Bersama para pengiringnya, rumah Pak Bangkol diperiksa seluruhnya. Pencarian tidak hanya dilakukan di tempat yang dapat dilihat saja, tetapi juga di tempat yang tidak terlihat. Setelah mencari di seluruh rumah, Sang Pangeran tidak berhasil menemukan gadis idaman hatinya.
Dengan langkah lemas, ia keluar dari rumah Pak Bangkol. Saat melewati pintu, gagang keris Pangeran Panji tersangkut oleh sehelai rambut Cilinaya. Dicarinya asal rambut tersebut yang, ternyata berada di dalam terundak benang. Sesuai dengan janji Sang Pangeran, Cilinaya pun dinikahinya.
Setelah setahun tinggal di rumah Pak Bangkol, Raden Panji meminta izin isterinya untuk pulang ke negeri Keling. Setibanya di Keling ia memberitahu ayah dan ibunya, bahwa dia telah menikahi anak penjaga taman yang bernama Cilinaya.
Mendengar hal itu, Raja sangat kecewa karena anaknya nikah dengan orang biasa. Secara diam-diam, Sang Raja memerintahkan algojo kerajaan untuk membunuh Cilinaya. Sedangkan Raden Panji disuruhnya untuk mencari hati menjangan hijau sebagai obat bagi dirinya yang sedang pura-pura sakit. Ini merupakan siasat Sang Raja, agar Raden Panji tidak tahu jika isterinya akan dibunuh oleh algojo Raja Keling.
Sang algojo pun telah mendapatkan Cilinanya. Ia kemudian membawanya ke sebuah pantai di daerah Tanjung Menangis. Saat sampai di sebuah pohon ketapang yang rindang dekat pantai, sang algojo berkata bahwa dia disuruh oleh Raja Keling sebenarnya bukan untuk membawanya ke kerajaan, melainkan untuk membunuhnya. Tanpa gentar, Cilinaya pun menjawab jika memang demikian kehendak ayahanda Prabu Keling, dia akan menerimanya.
Namun, sebelum algojo membunuhnya Cilinaya meminta izin untuk memetik buah maja sebagai pengganti tempat anaknya menyusu. Dan jika nanti algojo membunuhnya dan darahnya berbau amis, maka dia adalah orang biasa. Dan apabila berbau harum, maka dia adalah anak bangsawan.
Setelah mengambil buah maja, Cilinaya kemudian duduk berjongkok di bawah pohon ketapang sambil memeluk bayinya. Pada saat itu, Sang Algojo yang berdiri di belakangnya langsung menusukkan kerisnya ke tubuh Cilinaya hingga tersungkur ke tanah. Anehnya, darah yang keluar dari tubuh Cilinaya berbau harum seperti bau bunga kasturi. Hal ini menunjukkan jika Cilinaya sebenarnya adalah seorang bangsawan, bukan rakyat biasa. Sang Algojo pun menjadi pucat dan segera meninggalkan tempat itu kembali ke Negeri Keling. Jasad Cilinaya dan bayinya yang sedang memeluk buah maja itu, ditinggalkan begitu saja di tempat itu.
Tidak lama kemudian, Raden Panji dan saudaranya, Raden Irun, yang sedang mencari hati menjangan hijau secara kebetulan melewati tempat Cilinaya dibunuh. Dari kejauhan terdengar suara bayi yang menangis, lantas mereka mencari sumber suara tersebut. Setelah dekat mereka tidak hanya melihat seorang bayi yang sedang menangis, melainkan juga jasad perempuan yang bersimbah darah di sebelahnya.
Melihat jasad perempuan itu yang ternyata adalah Cilinaya, Raden Panji pun terkejut bukan main. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba langit menjadi mendung disertai hembusan angin kencang dan petir yang sambar menyambar. Dari celah-celah suara petir itu terdengarlah suara gaib, agar segera membuat sebuah peti untuk jasad Cilinaya dan hanyutkanlah ke laut. Kelak Tuhan Yang Maha Kuasa akan mempertemukan kalian kembali.
Setelah suara gaib itu menghilang dan langit kembali cerah, Raden Panji segera menyuruh Raden Irun beserta para pengiringnya untuk membuat sebuah peti dari kayu yang diberi tali sepanjang seribu depa. Kemudian ia memasukkan jasad isterinya itu ke dalam peti, dan kemudian dilarung ke tengah laut sambil memegangi tali pengikatnya dari pinggir pantai.
Ketika tali sepanjang seribu depa itu sudah sampai ke ujungnya, Raden Panji segera melepasnya sebagai simbol bahwa ikatan cinta mereka telah sampai pada titik akhir. Sambil menggendong bayinya, Raden Panji berjalan menjauh dari pantai pulang ke Negeri Keling bersama para pengawalnya.
Sementara mayat Cilinaya yang telah berada di tengah laut tersebut, ternyata terbawa oleh arus hingga ke pantai Negeri Daha. Kebetulan, pada waktu yang bersamaan permaisuri Raja Daha sedang berpesta. Ketika melihat peti tersebut, sang permaisuri lantas menyuruh pengawalnya untuk menarik dan membukanya. Ketika peti itu dibuka, ternyata di dalamnya ada seorang perempuan cantik jelita yang sedang tertidur lelap. Rupanya, dalam perjalanan mengarungi laut itu, secara ajaib Cilinaya telah hidup kembali. Karena tertarik oleh kecantikan Cilinaya, maka permaisuri mengangkat Cilinaya menjadi anaknya.
Suatu hari, Raja Daha mengadakan sabung ayam dengan taruhan yang sangat besar. Oleh karena taruhannya besar, maka yang mengikutinya pun hanya para raja dan bangsawan dari berbagai negeri. Mereka tidak hanya mempertaruhkan uang, tetapi juga wilayah negerinya masing-masing.
Pada saat para raja sedang asyik saling memperhatikan ayam aduan mereka, tiba-tiba datanglah seorang anak lelaki yang membawa ayam aduan berbulu hijau dan berekor sangat indah. Kokokannya pun berbunyi aneh, yaitu “Do do Panji Kembang Ikok Maya. Ayahku Panji Ibuku Cilinaya”.
Cilinaya yang saat itu mendengar suara kokokan ayam tersebut, mendapat firasat bahwa si pemilik ayam itu tidak lain adalah anaknya sendiri. Ia kemudian menghampiri si anak itu dan menanyakan nama, asal, dan nama ayahnya. Anak itu lalu menjawab bahawa dia bernama Megatsih dari Kerajaan Keling, dan nama ayahnya Raden Panji.
Tanpa berkata-kata lagi,Cilinaya langsung memeluk Raden Megatsih. Dengan berurai air mata ia lalu menjelaskan siapa dirinya. Kemudian, Cilinaya bersama Megatsih pergi menuju Kerajaan Keling untuk menemui Raden Panji. Akhirnya, mereka pun kini bersatu kembali dan hidup bahagia.